Kalau dilihat kondisi keberagamaan dewasa ini cukup menggembirakan. Majelis-majelis taklim menjamur di setiap daerahnya dengan jemaah pengajian yang membludak. Sebagian jemaah rela menempuh perjalanan puluhan bahkan ratusan kilometer untuk mendatangi pengajian. Hal lain yang juga cukup menggembirakan adalah menjamurnya layanan jasa tour dan travel yang melayani ummat muslim untuk melaksanakan haji plus dan ibadah umrah. Selain dapat meningkatkan geliat roda perekonomian, hal ini juga menunjukkan masih tingginya nilai religi yang dipegang oleh masyarakat kita. Daripada rezki yang diberikan Allah digunakan untuk pesiar ke Bali atau ke Singapura misalnya, mereka lebih memilih untuk menggunakannya sebagai ibadah sekaligus wisata. Dari sinilah muncul istilah wisata religi.
Tapi apakah kualitas keberagamaan kita sudah menjamah ranah
sosial? Ataukah hanya sebatas rutinitas ibadah yang bersifat individualistis
antara hamba dengan Sang Pencipta? Padahal dalam Islam secara tegas menjelaskan
bahwa kualitas ibadah secara sosial jauh lebih tinggi dibandingkan ibadah
individu. Misalnya saja shalat yang dilakukan secara berjamaah 27 kali lebih
baik dari shalat yang dilakukan sendirian.
‘Jangan ingin masuk surga sendirian’ Islam mengajarkan
kepada kita untuk ‘amar ma’ruf nahi munkar’ (mengajak menuju kebaikan dan
mencega perbuatan munkar) itu artinya kita dianjurkan untuk tidak enak
sendirian dan membiarkan saudara kita menderita.
Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran bukan
hanya dilakukan secara lisan tapi juga dengan perbuatan. Bagi sebagian kita yang
diberi amanah berupa kekuasaan/wewenang,
amar ma’ruf nahi munkar dapat dilakukan melalui kekuasaan dan wewenangnya. Nah,
bagi sebagian kita yang diberi Allah kelebihan rezeki berupa materi, mengajak
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dapat kita lakukan dengan harta yang
kita miliki.
Ironisnya, ketika sebagian dari kita setiap tahunnya selalu
berangkat umrah dengan menghabiskan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Sementara di sekeliling kita masih banyak kita dapati anak-anak kurang mampu
yang memerlukan uluran tangan. Karena keterbatasan ekonomi mereka terpaksa
putus sekolah dan turun ke jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sering kita
mendengar banyak anak cerdas dari keluarga tidak mampu yang terpaksa tidak bisa
kuliah karena tidak ada biaya. Mereka terpaksa bekerja sejak dini membantu
orang tuanya.
Kalau anank-anak tidak mampu tadi berhenti sekolah dan
mereka bekerja secara halal tentu tidak mengapa. Tapi kalau mereka melakukan
tindakan kriminal yang bertentangan dengan hukum Allah dan hukum negara siapa
yang patut dipersalahkan? Apakah kita yang diberi kelebihan rezeki tidak ikut
andil?
Wahai saudaraku biaya umrah yang kita keluarkan untuk satu
kali umrah sebenarnya mampu membiayai pendidikan seorang anak baik SMP, SMA,
maupun pondok pesantren selama tiga tahun bahkan lebih dan akan menjadi amal
jariah yang akan selalu mengalir meski kita telah tiada.
Lantas, manakah yang lebih baik? Umrah setiap tahun atau
membiayai pendidikan anak-anak kurang mampu? Yang lebih baik adalah UMRAH TIAP
TAHUN dan MEMBIAYAI PENDIDIKAN ANAK-ANAK KURANG MAMPU. :)
Wallahu a’lam.