Selasa, 08 Desember 2015

Pilkada

Di hari-hari menjelang kami menentukan pilihan
Senyummu begitu manis di mata
Janjimu terdengar merdu di telinga
Kau sapa kami meski sebelumnya kita tak saling kenal
Hari ini ada yang datang mengaku utusanmu
Membawakan kami oleh-oleh dan uang.
Dia bilang ini sebentuk silaturahmi dan saling membantu
Engkau membantu kami satu hari
Dan kami membantumu selama lima tahun
Tapi mengapa silaturahmi ini baru dibuat sekarang?
Bisakah kau yakinkan kami
Bahwa sikap manismu akan selalu ada
Ketika kami yang lebih banyak mengharapkan bantuanmu?
Atau jangan-jangan kami tak akan bisa lagi melihat senyum manismu karena kaca mobilmu yang tertutup rapat.
Ataukah oleh-oleh dan uang ini untuk membeli suara kami.
Karena kau tahu sebagian besar dari kami tak tahu dan sebagian lagi pura-pura tidak tahu dengan muslihatmu.
Meski kami perlu uangmu sekarang
Tapi kami lebih perlu pemimpin yang mampu menjamin agar listrik tak lagi byar pet.
Kami perlu pemimpin yang menjamin hukum tajam ke semua arah
Kami perlu pemimpin yang benar-benar melindungi kami.
(Sungai Raya, 8 Desember 2015)

Kamis, 03 Desember 2015

Aku Belajar


Aku belajar puitis
Meski tak pernah rangkai kata terdengar merdu
Aku belajar romantis
Meski setiap rayu bagai iris sembilu
Aku belajar merindu
Seperti erang pengembara yang dahaga
Aku belajar setia
Saat aku tak tahu seberapa ku setia.
Kandangan, 25 November 2015 (Dalam senyap malam)

Selasa, 20 Oktober 2015

Inilah

Inilah negeri
Dimana kami hanya bisa menghirup separuh nafas.
Inilah negeri dimana kami tak lagi bisa membedakan sejuknya pagi, teriknya siang, dan hangatnya petang. Semua kelam abu-abu.
Kami tak lagi bisa melihat indahnya senyum, karena bibir kami telah tertutup topeng berwarna warni.
Negeri dimana kami dipaksa untuk menikmati irama nafas bayi-bayi kami yang tersengal. Kami dipaksa menatap bahu mereka turun naik karena sesaknya dada.
Kami marah! Tapi pada siapa?
Pada asap yang tanpa pamit masuk ke dalam kamar hingga rongga dada kami?
Kami ingin menjerit, tapi jeritan kami masih kalah keras dibanding suara chainsaw yang meraung-raung menumbangkan hutan-hutan kami.
Kami ingin mengadu, tapi pada siapa? Pada cukong-cukong yang serakah melahap hektar demi hektar bumi hijau kami?
Kami ingin menangis, tapi air mata ini telah kering terkuras perihnya asap.
Kami sekarang hanya bisa berharap. Berharap ada kekuatan yang mampu menghalau kabut ini.
Entah kapan..
Entah siapa..
Kandangan, 20 April 2015

Sabtu, 26 September 2015

Negeri Berasap

Dalam skala kecil saya atau Anda mungkin suka dengan asap. Terbayang bagaimana nikmatnya ayam muda bakar madu, atau lezatnya 'papuyu baubar' (ikan bakar khas Kalimantan Selatan). Aroma  yang dibawa oleh asapnya saja sudah bisa membuat kita jadi ngiler. Beda sekali rasanya dengan yang dipanggang tanpa bara atau asap.
Tapi ketika segalanya melebihi takaran, manusia mulai dibuat resah. Aktivitas mulai terganggu. Mulai dari penderita ISPA yang melonjak tajam hingga terganggunya roda perekonomian. Di beberapa daerah, para siswa terpaksa diliburkan dari kegiatan belajar mengajar karena makin pekatnya intensitas kabut asap.
Pada titik ini, manusia tak lagi mampu membanggakan teknologi. Sisi lemah sebagai mahluk begitu kentara ditunjukkan oleh yang Maha Kuasa. Kita ditaklukkan oleh sesuatu yang secara kasat mata terlihat lemah. Tapi ketika ada kekuatan yang menyertainya, maka manusia tak dapat berbuat banyak.
Sebutlah benda-benda seperti air, angin, api, nyamuk, belalang, atau virus mematikan  yang saking kecilnya bahkan tak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Begitu ada kekuatan besar yang menyertai mereka, sebuah negara pun akan dibuat repot bahkan tak jarang harus mengeluarkan status darurat atau kejadian luar biasa.
Terkait dengan bencana kabut asap yang melanda, tentu ini bukan murni bencana yang disebabkan oleh peristiwa alam. Tapi dampak dari polah manusia yang tidak bijak dalam mengelola alam. Seyogianya bencana ini dapat kita hindari kalau saja kita bisa arif dalam mengolah dan memanfaatkan karunia Tuhan yang dititipkan pada kita.
Bisa jadi yang menanam cuma segelintir orang, tapi yang menuai akibatnya juga dirasakan oleh semua lapisan.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa dan menjadikannya landasan untuk tindakan kita selanjutnya.
Amuntai, 26 September 2015 (Dalam kabut asap yang masih menyelimuti kotaku)

Jumat, 19 Juni 2015

Sertifikasi Guru Dicemburui? Wajar Saja.

Dahulu profesi guru bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan secara ekonomi. Gaji yang diterima setiap bulan terkadang tidak cukup untuk kebutuhan sebulan. Saya mengenal beberapa orang guru saya dahulu yang memiliki dedikasi tinggi terhadap tugasnya sebagai seorang pendidik. Mereka mengedapankan keikhlasan dalam menjalankan tugasnya. Fokus pada tugas, sehingga mengajar dan mendidik benar-benar dijadikan langkah hidupnya. Tapi semangat pengabdian mereka tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Kehidupan mereka sangat bersahaja bahkan bisa dibilang kekurangan. Sampai saya SMA pun saya masih mendapati kondisi guru yang masih memprihatinkan secara ekonomi. Disaat sebagian siswa sudah menggunakan sepeda motor, mereka masih mengayuh sepeda butut untuk sampai di sekolah. Padahal mereka adalah guru-guru terbaik. Karena mereka hanya fokus pada tugas keguruannya sehingga tidak sempat mencari penghasilan tambahan di bidang lain. Berbeda dengan beberapa guru yang kondisi ekonominya cukup mapan. Karena sebagian mereka memiliki usaha sampingan untuk mendongkrak penghasilan. Bahkan yang lebih parah ada yang menjadikan profesi guru sebagai usaha sampingan karena terlalu sibuk dengan dengan usaha di bidang lain.
Sejak pemerintah menggulirkan program sertifikasi guru, kehidupan guru perlahan-lahan mulai berubah. Secara ekonomi kehidupan mereka mulai membaik. Guru sudah bisa lebih fokus pada tugasnya mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi serta menindaklanjuti pembelajaran yang dilakukan. Sebagin dari uang sertifikasi digunakan untuk meningkatkan kualitas kompetensi, misalnya dengan meningkatkan kualifikasi akademik hingga sampai jenjang S1, S2 bahkan S3. Hal ini tentunya akan berimbas pada peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah yang akan bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Tapi, sudah menjadi hukum alam, ‘kalau kita menanam padi maka rumput pasti akan tumbuh.’ Alih-alih meningkatkan kualitas kompetensi, karena sibuk mempersiapkan persyaratan sertifikasi sebagian guru ada yang tega mengorbankan siswa dan jam mengajar. Kuliah yang dilakukan bukan lagi untuk mencari ilmu tapi untuk mendapatkan ijazah sarjana yang merupakan persyaratan sertifikasi.
Tak bisa dipungkiri, seiring makin mapannya kondisi ekonomi guru ternyata juga berimbas pada perubahan pola dan gaya hidup. Dahulu guru memiliki rumah dan perabot sederhana. Untuk berangkat ke sekolah paling lumayan guru menggunakan sepeda motor. Itu pun didapat melalui pinjaman bank atau kredit. Sekarang kondisinya sudah jauh berubah. Guru sudah bisa menikmati rumah yang layak huni dengan perabot lengkap. Sebagian dari mereka juga sudah bisa memiliki mobil sendiri. Sehinggga untuk acara yang dihadiri oleh guru, panitia terpaksa harus menyediakan parkir yang luas. Kalau dahulu untuk mengisi waktu liburan guru hanya bisa berekreasi ke tempat wisata yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tapi sekarang mereka sudah bisa berlibur ke luar pulau bahkan ke luar negeri. Bahkan ada yang setiap tahun.
Kondisi ini tentunya tak lepas dari sorotan berbagai pihak. Apakah program sertifikasi sudah benar-benar berfungsi sesuai harapan yakni untuk mengubah mindset guru dalam melaksanakan tugasnya ke arah yang lebih baik dan bermutu? Atau bahkan hanya mengubah pola dan gaya hidup guru menjadi konsumtif dan hedonis? Ada kalangan yang menganggap bahwa program sertifikasi guru tidak sesuai dengan harapan sehingga muncul wacana untuk menghentikan sertifikasi guru (Kompas.com) (http://megapolitan.kompas.com/read/2014/08/13/20363611/Ahok.Tiap.Hari.Kerjaan.Guru.Hanya.Fotokopi.Sertifikat.)
Tentu anggapan ini tak sepenuhnya benar, tapi juga tidak seratus persen salah. Wajar saja ada pihak yang menyangsikan manfaat dari sertifikasi guru. Karena kondisi di atas memang terjadi dalam proses program sertifikasi ini. Tapi kita juga tidak menutup mata bahwa program sertifikasi ini sangat berpengaruh dalam peningkatan kualitas kompetensi guru. Guru-guru yang mendedikasikan dirinya secara total untuk tugas mulia ini tidak lagi terpecah konsentrasinya pada peningkatan kualitas ekonominya. Sehingga mereka lebih produktif, kreatif, dan inovatif dalam melaksanakan tugas.
Lantas sebagai guru, apakah kita akan marah dengan anggapan pihak-pihak yang menyatakan sertifikasi guru ini gagal dan menganggap mereka cemburu. Semestinya hal itu dijadikan bahan evaluasi dan instropeksi. Buktikan bahwa kita professional dan layak untuk mendapat tunjangan profesi guru.

10 Hasil Foto Asus Zenfone 5

Salah satu cara ntuk melepas penat sekaligus menyalurkan hobi, saya memilih berburu foto membingkai keindahan yang telah disediakan Tuhan untuk kita. Meski hanya menggunakan kamera hape dan aksesoris pendukung lainnya, ternyata perburuan ini cukup menyenangkan dan mendapatkan beberapa foto yang lumayan untuk ukuran amatir seperti saya.
Berikut beberapa hasil foto Asus Zenfone 5 yang berhasil saya dapat:
Lihat juga hasil foto Asus Zenfone 5 yang lain.
Di bawah gerimis
Halaman Rumah Kami
Menatap Langit
Kepakkan Sayapmu
Ruang Makan
Bunga
Mencari Nafkah
Pantai Sarang Tiung
Pagi yang Sejuk
Warna-warni

Selasa, 19 Mei 2015

Berbuat

Bukan seberapa banyak kemampuan yang dikuasai. Tapi seberapa besar kemauan untuk berbuat dan bekerja.
Bukan seberapa banyak gelar yang disandang. Tapi seberapa nampak hasil karya yang telah disumbangkan untuk kebaikan.
Tentu akan lebih indah kemampuan yang bersanding dengan kemauan.
Tentu lebih anggun untaian gelar dirangkai dengan kiprah yang nyata.

Senin, 04 Mei 2015

Terimakasih

Berat sebenarnya meninggalkan sekolah yg selama 13 tahun telah memberi warna perjalanan karierku sebagai pendidik. Mengenal orang-orang yang mampu menjadi sahabat, motivator, dan keluarga bagiku. Kebersamaan, kekeluargaan, kebersahajaan begitu kental dalam komunikasi dan interaksi yang terjadi.
Saling memberi, diskusi, senda gurau mewarnai sela-sela aktifitas sebagai pendidik.
Beruntung pernah memiliki seorang pemimpin yang mampu mengayomi dan menjadi teladan. Sikap, keramahan, disiplin, semangat, kesederhanaan menjadi rutinitas kepemimpinan yang ditunjukkan kepada kami.
Beruntung memiliki sahabat-sahabat dengan berbagai karakter positif. Ceria, kalem, penuh humor, telaten, ikhlas, cekatan, blak-blakan,  apa adanya (sampai-sampai tidak tergiur untuk memiliki hp sekalipun. Kkkk..), pandai membuat masakan yang wuiiih... menggugah selera, (Hiks.. jadi kangen dengan sambal terasi, rujak, gaguduh tiwadak, tumis mandai dan garinting sapat).
Ada satu kesamaan dari berbagai karakter yang berbeda, yakni kemauan untuk menjadi lebih baik. Walaupun harus bolak-balik nanya ketika ingin membuat presentasi, ketika ingin membuat akun facebook, bahkan bareng-bareng ngisi angket PADAMU, sampai-sampai operator sekolah Muhammad Midi  harus keliling dari meja ke meja untuk melayani setiap pertanyaan.
Beruntung memiliki siswa-siswi yang unik. Yang menjadi ladang amal, pemantik kreatifitas, penguji kesabaran, pelepas kepenatan, dan pemacu semangat.
Siswa-siswa yang memiliki semangat luar biasa untuk menjadi pemenang. Meski dengan berbagai keterbatasan. Sekolah pinggiran kota, latar belakang sosial ekonomi, dan keterbatasan sarana. Ternyata tidak menyurutkan semangat mereka. Bahkan sayalah yang harus angkat tangan ketika mereka memintaku untuk memberi les yang terakhir di hari terakhir.
Terimakasih untuk semuanya yang telah banyak memberi untukku. Tak sebanding rasanya apa yang telah kuterima dengan apa yang dapat kupersembahkan.
Akhirnya, setiap kita harus memilih ketika diberi beberapa pilihan. Dan pilihan inilah yang harus kuambil dengan segala konsekuensinya.
(Coretan ini pun ternyata dipantik oleh komentar sahabat saya di sebuah statusku)

Selasa, 14 April 2015

Sesak

Selalu saja kesendirian ini menyesakkan dada.
Lebih sesak dari pada duduk dalam ruang sempit yang penuh asap rokok
Bertarung melawan sepi dengan senjata kesabaran
Sementara tajamnya mata pedang kerinduan telah mengiris begitu  dalam dinding hati
Tahukah engkau betapa perihnya?
Lebih perih dari tak pernah bertemunya rembulan dan sang mentari
Tapi, ada sisi indah dari kerinduan
Ia dapat menajamkan kelembutan rasa
Meski kadang menumpulkan logika.
Mencurahkan bait-bait puitis
Meski kadang memunculkan egois
Bila rindu dan kesendirian menyatu dalam jiwa yang sepi
Seorang pejantan tangguh sekalipun, mendadak menjadi melankolis
(Amuntai, 14 April 2015)

Minggu, 22 Maret 2015

Hasil Foto Asus Zenfone 5

Iseng-iseng belajar moto pakai Asus Zenfone 5
Embun di halaman sekolah
Jamur
Jembatan Paliwara Amuntai
Cabe Rawit (Lokasi : Halaman Rumah)
Lumut dan akar kelapa
Pelangi senja (Lokasi : Lokdalam HSS)
Tenang (Lokasi : Rukam Amuntai Selatan)
Di antara ( Lokasi : Sungai Raya HSS)

Kamis, 19 Maret 2015

Memilih untuk Tidak Meminta


Suatu siang di pusat Kota Amuntai. Sepulang dari kerja, saya singgah di pinggir jalan di seberang Taman Putri Junjung Buih tempat pedagang buah menggelar dagangannya. Saat saya sedang asyik memilih buah Pampakin*, seorang kakek mendekat sambil menuntun sepeda butut. Di keranjang depan sepedanya terdapat beberapa buah bakul* bamban dan diboncengannya terdapat setumpuk kipas rotan yang jumlahnya mungkin hanya puluhan. Mungkin kakek ini seorang pedagang bakul dan kipas keliling.
Agak lama juga si kakek memandangi saya dan beberapa orang pembeli memilih buah yang akan dibeli. Sampai akhirnya beliau bertanya,
“Barapa sabigi pampakin?” (Berapa harga sebuah pampakin?).
Saya yang kebetulan berada dekat dengan beliau menjawab,
“Sepuluh ribu Kai ai” (Sepuluh ribu kek).
“Umai lih..” ujar si kakek agak bergumam. (Saya tidak bisa menerjemahkan ucapan kakek ini ke dalam bahasa Indonesia. Ungkapan ini kurang lebih bermakna keluhan untuk konteks ini)
Kutatap wajah si Kakek. Seperti ada keraguan dan kebingungan terpancar dari raut wajahnya. Naluri saya reflek menerka-nerka apa yang dipikirkan si kakek. Mungkin beliau menganggap harganya terlalu mahal, atau uang yang dimiliki tidak cukup untuk membeli pampakin tersebut. Atau mungkin juga uangnya cukup, tapi masih ada keperluan yang lebih mendesak. Wallahu a’lam.
Sambil terus memandangi pampakin yang ada, akhirnya saya selesai membayar beberapa buah pampakin yang saya beli. Kemudian saya memberikan sebuah pampakin kepada Kakek tadi.
“Ini gasan Pian Kai ai” (Ini untuk Kakek..)
“Berapa haraganya?” (Berapa harganya?) ujar si Kakek.
“Kada usah dibayari gin. Ulun mambari Pian” (Tidak usah di bayar, ini untuk Kakek)
“Umaa, bauntung batuahnya ikam Nak. Tarima kasih Nak lah”  ujar beliau sambil menerima pampakin tersebut. Saat itu saya merinding mendengar ucapan beliau. Tapi yang membuat saya semakin merinding adalah kejadian berikutnya.
“Tolong buka akan Nak lah, aku handak banar sudah mamakan” (Tolong bukakan ya Nak, saya sudah ingin sekali) ujar si kakek. Benar saja setelah saya belah pampakin tersebut dengan pisau penjual, saat itu juga beliau memakan isi pampakin yang terbelah dengan lahapnya dan sisanya beliau masukkan ke dalam bakul yang ada di keranjang sepeda.
Ketika saya ingin beranjak pergi, kembali si kakek mengucapkan terimakasih dan mengulurkan tangan beliau untuk bersalaman. Saat diperjalanan saya baru terpikir, kenapa hanya satu buah yang saya berikan. Siapa tau beliau memiliki istri, anak, atau mungkin cucu yang sedang menunggu beliau membawakan sesuatu sepulang dari berjualan. Ah, rasanya saya ingin menangis.
Semoga dengan pengalaman ini saya bisa lebih bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada saya selama ini. Betapa nilai sepuluh ribu yang kadang begitu tidak dianggap oleh kita, bisa memiliki arti yang sangat besar bagi orang lain.
Satu pelajaran berharga yang saya peroleh dari si kakek adalah, beliau memiliki harga diri untuk tidak meminta-meminta, meskipun keinginannya untuk makan buah pampakin begitu besar. Dan beliau lebih memilih bekerja di usia yang seharusnya beristirahat daripada menjadi beban bagi orang lain.
*pampakin: sejenis buah durian yang warna kulit dan isinya berwarna kuning tua atau orange.
*bakul bamban : wadah yang terbuat dari tumbuhan bamban yang digunakan untuk mencuci beras oleh orang banjar.

Jumat, 13 Maret 2015

RASA

Terimakasih untuk segala rasa.
Meski seharusnya tak pantas ada.
Hadir untuk menguji makna setia.
Jangan paksa aku dengan iba
Karena ku yakin tak akan bisa
Menatap sepasang mata yang berkaca.
Saat harus menggenggam luka.
Amuntai, 12 Maret 2013

Rabu, 25 Februari 2015

Selamat Ulang Tahun Kekasih

Meski saat ini ku tak disisimu. Namun izinkan tulisan ini mewakili hadirku.
Kekasih...
Seiring bertambahnya waktu,
Bertambah pula masa kebersamaan kita.
Hal terindah bagiku adalah ketika masih diberi kesempatan untuk hidup bersamamu.
Terimakasih untuk segala pengorbanan yang telah kau berikan.
Terimakasih untuk segala kesetiaan yang kau jalani
Terimakasih telah rela menerima segala keluh kesahku disaat aku ingin didengarkan
Terimakasih telah tulus menerimaku dengan segala kekurangan dan kelebihanku.
Harusnya banyak yang akan kau terima dariku atas segala yang kau berikan padaku.
Aku belum bisa memberimu istana yang megah.
Aku belum bisa memberimu mobil mewah
Aku belum bisa memberimu perhiasan yang indah.
Tapi aku masih punya cinta.
Ku masih punya setia
Kekasih...
Dalam bertambahnya usia
Ku berharap Allah masih mengizinkanku,
Menikmati keindahan senyummu
Merasakan kelembutan sikapmu
Merasakan nikmatnya masakan yang kau suguhkan sesederhana apapun.
Menikmati segelas teh/kopi di sela-sela kepenatanku
Menyaksikan setiap lambaian tanganmu ketika melepas pergiku.
Kekasih..
Ku tak berharap kau setenar wanita-wanita penakluk dunia.
Ku tak berharap kau sesempurna Cleopatra yang kecantikannya membius semua pria.
Ku ingin kau tetap menyentuhku dengan hangat ketika membangunkanku.
Ku ingin kau tetap menjadi ibu yang disayang dan dikagumi anak-anakku.
Ku ingin kau tetap menyertakanku dalam setiap doa-doamu.
Ku ingin kau tetap menjaga batas-batasmu sebagai wanita muslimah.
Ku ingin kau tetap setia mendengar segala cerita duka maupun bahagiaku.
Ku ingin kau menjadi bidadari surgaku kelak.
Ah.. begitu banyak yang kuminta darimu.
Sungguh tak sebanding dengan apa yang kau terima dariku.
Kekasih...
Di hari ulang tahunmu ini
Tak ada kado yang dapat kuberikan padamu.
Hanya seuntai do'a yang dapat terucapkan.
Semoga di usia yang tersisa, keberkahan dan kebahagiaan selalu menyertaimu.
SELAMAT ULANG TAHUN KEKASIHKU.

Sabtu, 24 Januari 2015

Kenapa

Wah, mulai tajam nih. "Kok orang Indonesia banyak yang tidak pakai kerudung?" Itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh anak saya yang duduk di kelas 1 SD. Lha, saya harus menjawab apa? Saya mau menjawab, "Kan orang Indonesia banyak yang laki-laki juga". Tapi sepertinya bukan itu jawaban yang diinginkannya. Atau saya jawab saja, "Ini masalah hidayah anakku". Tapi apakah anak yang baru berumur tujuh  kali lebaran haji mengerti soal hidayah? Kalo Hidayah teman sekelasnya mungkin dia tau.
Sepertinya pertanyaan itu lebih layak ditujukan kepada kita, para suami dan orang tua  yang membiarkan dan mengamini isteri dan anak-anak  kita melanggar aturan Allah. Bukan hanya mengamini, kita bahkan mendukung, membiayai, menyuruh, mencontohkan, dan membiasakan mereka untuk selalu hidup di luar jalur aturan agama. Lihat saja, toko-toko yang menjual fashion minim kain lebih banyak diserbu pembeli ketimbang toko yang menjual busana muslimah.
Inilah pentingnya menanamkan nilai-nilai agama sejak dini. Saya yakin pertanyaan di atas tidak akan muncul kalau konsep tentang menutup aurat bagi muslimah belum ada di kepala anak. Berapa banyak waktu dan biaya yang kita gunakan dengan sengaja untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anak kita? Sekarang coba hitung ulang, waktu dan biaya yang telah kita keluarkan dengan tidak sengaja untuk membiasakan anak durhaka kepada Allah. Misalnya dengan membelikan pakaian terbuka aurat, atau  media (TV, Smartphone) yang bisa membahayakan anak kita kalau tidak dikontrol dengan baik. Dari sanalah mereka belajar pergaulan bebas, belajar kekerasan, belajar cara berpakaian dan lain sebagainya.
Dengan filter nilai agama saja kita dan anak-anak kita keteteran menghadapi gempuran berbagai informasi dan nilai-nilai yang masuk setiap detiknya. Apakah lagi tanpa pertahanan sedikit pun.
Memang ini bukanlah tugas yang mudah. Tapi ini adalah kewajiban kita. Ingin jadi apa anak-anak kita nanti, peran kita saat ini turut andil di dalamnya.