Minggu, 22 Maret 2015

Hasil Foto Asus Zenfone 5

Iseng-iseng belajar moto pakai Asus Zenfone 5
Embun di halaman sekolah
Jamur
Jembatan Paliwara Amuntai
Cabe Rawit (Lokasi : Halaman Rumah)
Lumut dan akar kelapa
Pelangi senja (Lokasi : Lokdalam HSS)
Tenang (Lokasi : Rukam Amuntai Selatan)
Di antara ( Lokasi : Sungai Raya HSS)

Kamis, 19 Maret 2015

Memilih untuk Tidak Meminta


Suatu siang di pusat Kota Amuntai. Sepulang dari kerja, saya singgah di pinggir jalan di seberang Taman Putri Junjung Buih tempat pedagang buah menggelar dagangannya. Saat saya sedang asyik memilih buah Pampakin*, seorang kakek mendekat sambil menuntun sepeda butut. Di keranjang depan sepedanya terdapat beberapa buah bakul* bamban dan diboncengannya terdapat setumpuk kipas rotan yang jumlahnya mungkin hanya puluhan. Mungkin kakek ini seorang pedagang bakul dan kipas keliling.
Agak lama juga si kakek memandangi saya dan beberapa orang pembeli memilih buah yang akan dibeli. Sampai akhirnya beliau bertanya,
“Barapa sabigi pampakin?” (Berapa harga sebuah pampakin?).
Saya yang kebetulan berada dekat dengan beliau menjawab,
“Sepuluh ribu Kai ai” (Sepuluh ribu kek).
“Umai lih..” ujar si kakek agak bergumam. (Saya tidak bisa menerjemahkan ucapan kakek ini ke dalam bahasa Indonesia. Ungkapan ini kurang lebih bermakna keluhan untuk konteks ini)
Kutatap wajah si Kakek. Seperti ada keraguan dan kebingungan terpancar dari raut wajahnya. Naluri saya reflek menerka-nerka apa yang dipikirkan si kakek. Mungkin beliau menganggap harganya terlalu mahal, atau uang yang dimiliki tidak cukup untuk membeli pampakin tersebut. Atau mungkin juga uangnya cukup, tapi masih ada keperluan yang lebih mendesak. Wallahu a’lam.
Sambil terus memandangi pampakin yang ada, akhirnya saya selesai membayar beberapa buah pampakin yang saya beli. Kemudian saya memberikan sebuah pampakin kepada Kakek tadi.
“Ini gasan Pian Kai ai” (Ini untuk Kakek..)
“Berapa haraganya?” (Berapa harganya?) ujar si Kakek.
“Kada usah dibayari gin. Ulun mambari Pian” (Tidak usah di bayar, ini untuk Kakek)
“Umaa, bauntung batuahnya ikam Nak. Tarima kasih Nak lah”  ujar beliau sambil menerima pampakin tersebut. Saat itu saya merinding mendengar ucapan beliau. Tapi yang membuat saya semakin merinding adalah kejadian berikutnya.
“Tolong buka akan Nak lah, aku handak banar sudah mamakan” (Tolong bukakan ya Nak, saya sudah ingin sekali) ujar si kakek. Benar saja setelah saya belah pampakin tersebut dengan pisau penjual, saat itu juga beliau memakan isi pampakin yang terbelah dengan lahapnya dan sisanya beliau masukkan ke dalam bakul yang ada di keranjang sepeda.
Ketika saya ingin beranjak pergi, kembali si kakek mengucapkan terimakasih dan mengulurkan tangan beliau untuk bersalaman. Saat diperjalanan saya baru terpikir, kenapa hanya satu buah yang saya berikan. Siapa tau beliau memiliki istri, anak, atau mungkin cucu yang sedang menunggu beliau membawakan sesuatu sepulang dari berjualan. Ah, rasanya saya ingin menangis.
Semoga dengan pengalaman ini saya bisa lebih bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada saya selama ini. Betapa nilai sepuluh ribu yang kadang begitu tidak dianggap oleh kita, bisa memiliki arti yang sangat besar bagi orang lain.
Satu pelajaran berharga yang saya peroleh dari si kakek adalah, beliau memiliki harga diri untuk tidak meminta-meminta, meskipun keinginannya untuk makan buah pampakin begitu besar. Dan beliau lebih memilih bekerja di usia yang seharusnya beristirahat daripada menjadi beban bagi orang lain.
*pampakin: sejenis buah durian yang warna kulit dan isinya berwarna kuning tua atau orange.
*bakul bamban : wadah yang terbuat dari tumbuhan bamban yang digunakan untuk mencuci beras oleh orang banjar.

Jumat, 13 Maret 2015

RASA

Terimakasih untuk segala rasa.
Meski seharusnya tak pantas ada.
Hadir untuk menguji makna setia.
Jangan paksa aku dengan iba
Karena ku yakin tak akan bisa
Menatap sepasang mata yang berkaca.
Saat harus menggenggam luka.
Amuntai, 12 Maret 2013