Selasa, 20 Mei 2014
Separuh Jiwa
Diraihnya satu demi satu serpihan hati yang terserak.
Tapi mozaiknya tak juga melukis rasa
Ada retak yang merambat ke setiap sudut jiwa
Jika saja berkas sinar itu padam dalam dadanya
Tentu jiwanya akan luruh bersama setiap helaan nafasnya
Hidup dengan separuh jiwa, bukanlah sebuah irama yang merdu
Tapi lebih kepada simponi kematian yang siap merangkulnya
(Amuntai, 20 Mei 2014)
Guru Berprestasi, Catatan Kecil dalam Refleksi
Ada pengalaman berharga yang kudapatkan dari mengikuti kegiatan lomba guru berprestasi kali ini. Bukan hanya sekadar isi materi lomba yang menambah wawasan keilmuan keguruan saya, mengenal kawan-kawan seprofesi yang memiliki prestasi dan keunikan masing-masing, tapi lebih dari itu semua, ada pembelajaran berharga yang saya dapatkan kali ini.
Persepsi. Ya, ini masalah persepsi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan ‘persepsi’ artinya
proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya. Dari awal
mengikuti lomba di kabupaten, beberapa sahabat sepertinya menjagokan saya (tapi
ingat, ini adalah persepsi saya lho!).
Hal ini saya tangkap dari beberapa komentar dan ucapan yang saya dengar. Saya
juga tidak tahu apakah ini sebuah ungkapan yang tulus atau hanya sekadar
basa-basi untuk menyenangkan hati saya. Bukankah menyenangkan orang lain itu
berpahala. Tapi pada intinya akhirnya semua dukungan mereka saya jadikan
motivasi untuk mempersiapkan diri secara maksimal.
Lomba usai dan ada jeda waktu seminggu dalam menunggu
pengumuman hasil lomba. Dalam masa menunggu ini pun kembali dukungan dan ucapan
semangat saya terima dari kawan-kawan yang mengenal saya. Ada yang lewat ucapan
langsung, lewat sms, inbok dan komentar
di fb. Tapi saya sendiri sebenarnya sudah mulai bisa membaca peta kekuatan dan kelemahan saya dalam lomba ini. Pun juga
membaca peta kekuatan sahabat saya yang lain yang ikut lomba ini. Sampai pada
prediksi akhir bahwa memang kali ini banyak kawan-kawan yang lebih dari saya
dilihat dari kriteria penilaian lomba. Benar saja, pada saat pengumuman hasil
lomba, nama saya belum layak berada di jajaran ‘Guru Berprestasi Kabupaten Hulu Sungai Utara 2014’
Yang membuat saya merasa tersanjung dan berpikir keras
adalah setelah pengumuman tersebut ada sahabat saya yang menelpon, ada juga
yang inbok di fb yang intinya mengatakan saya layak menjadi juara. Jujur saja saya sendiri agak geli juga. Sebab saya
beranggapan bahwa sahabat-sahabat saya tadi mungkin melihat saya dari satu
aspek kehidupan saya atau dengan kata lain mereka menilai saya dari persepsi
mereka. Dan yang paling jelas adalah mereka mengenal saya dan saya mengenal
mereka. Jadi tidak tertutup kemungkinan ada bias penilaian mereka terhadap
saya. Beda dengan para juri dalam lomba ini, saya mengenal mereka, tapi mereka
tidak mengenal saya. Atau kalaupun ada yang kenal rasanya tidak akan membuat
penilaian mereka subjektif terhadap saya.
Saya menganggap bahwa kawan-kawan yang menjadi juara dalam lomba ini memang layak untuk menyandang
gelar ‘yang terbaik’ pada lomba kali ini karena: 1) mereka memiliki kekuatan di setiap aspek
penilaian yang dilakukan dalam lomba ini. 2) mereka adalah sahabat-sahabat saya
yang saya kenal prestasi dan dedikasinya (semoga ini bukan hanya persepsi saya)
Untuk teman-teman yang telah memberi dukungan dan semangat
kepada saya, izinkan saya menyampaikan:
1) terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah diberikan, semoga
ini menjadi cambuk bagi saya untuk selalu semangat menjadi lebih baik 2) saya memang belum layak menyandang gelar
tersebut, sebab dari 4 aspek penilaian yang ada, hanya satu aspek yang menjadi
kekuatan saya.
Buat sahabat-sahabatku yang meraih prestasi, teruslah
berkarya dan berbuat untuk kemajuan pendidikan di negeri ini. Gelar atau atribut yang didapat hanya sebagian
kecil dari puzzle prestasi dan dedikasi kalian. Sedangkan berbuat dan karya
nyatalah yang jadi puzzle terbesarnya. Bravo!
Minggu, 11 Mei 2014
Aku?
Aku, tak seindah yang kau lihat
Aku, tak semerdu yang kau dengar
Aku, tak selembut yang kau belai
Karena aku, bukan bunga
Karena aku, bukan irama
Karena aku, bukan sutera
Aku, hanya sebuah jiwa
Aku, hanya sekeping asa
Aku, hanya segenggam cinta.
Yang ingin jadi bermakna.
(Amuntai, 2 Mei 2014) (Di suatu senja yang gerimis)
Aku, tak semerdu yang kau dengar
Aku, tak selembut yang kau belai
Karena aku, bukan bunga
Karena aku, bukan irama
Karena aku, bukan sutera
Aku, hanya sebuah jiwa
Aku, hanya sekeping asa
Aku, hanya segenggam cinta.
Yang ingin jadi bermakna.
(Amuntai, 2 Mei 2014) (Di suatu senja yang gerimis)
Langganan:
Postingan (Atom)