Biasanya anak saya yang kelas 1 Sekolah
Dasar diantar ibunya ke sekolah. Karena suatu keperluan, hari ini saya
yang mengantarnya ke sekolah. Ini adalah kali kedua saya mengantar. Saat
mengantar pertama kali saya langsung balik setelah si kecil bersalaman
dan mengucap salam. Sehingga tidak sempat memperhatikan keadaan di
lingkungan sekolah.
Jam di tangan saya menunjukkan pukul 07.15 wita, saat kami tiba di depan sekolah yang terbilang sederhana ini.
Setelah bersalaman anak saya meminta uang kepada saya. "Lho, bukankah
sekolah tidak memperbolehkan siswa membawa uang jajan?" Tanya saya
heran. Tanpa menjawab dia menunjuk sebuah kotak kaca yang terdapat di
dekat meja guru piket. Oh, akhirnya saya mengerti, ternyata uang
tersebut digunakan untuk membiasakan siswa bersedekah harian. Sehabis
mengucap salam, anak saya berjalan menuju ke arah meja piket. Ternyata
setiap siswa dan guru yang datang akan menuju ke meja piket untuk
mengisi daftar hadir dan bersedekah sukarela.
Saya mengurungkan
niat untuk langsung balik karena ada pemandangan yang cukup menarik
perhatian saya. Di dekat meja itu ada empat orang ibu guru dengan
kerudung panjangnya. Anak saya menyebutnya 'Ustadzah. Dengan senyum yang
selalu mengembang di bibir mereka, setiap siswa disambut dan dijawab
salamnya dengan hangat. Ah, menyejukkan sekali.
Pandangan saya
beralih ke depan kelas. Di depan pintu masuk setiap kelas telah berdiri
wali kelas yang juga siap menyambut dan menjawab salam siswa dengan
senyuman yang tulus. Siswa mengucap salam, bersalaman, masuk kelas
untuk meletakkan tas lalu kembali keluar kelas. Di halaman pun, setiap
siswa yang baru berpapasan dengan guru akan mengucapkan salam dan
bersalaman. Hmm, pagi yang indah.
Saya menghela nafas dalam-dalam.
Ternyata ini rupanya salah satu faktor penyebab perubahan perilaku anak
saya dalam tiga bulan terakhir. Dari sikapnya yang emosional menjadi
lebih lembut dan terkendali. Pernah suatu kali dia keceplosan menyebut
kata 'burit' (maaf, artinya 'bokong'). Cepat-cepat dia mengucap
istighfar. Katanya kalau di sekolah dia akan mendapat poin. Kami juga
kerap tersenyum pahit ketika dia mengingatkan berdoa pada saat makan dan
minum, atau menegur kakak atau sepupunya yang makan atau minum berdiri.
Kalau sebelumnya kegiatan pagi yang paling menguras emosi ibunya adalah
ketika membangunkan dan menyuruhnya mandi pagi. Alhamdulillah sekarang
hal itu sudah jarang terjadi, bahkan paketnya ditambah dengan
melaksanakan shalat subuh meskipun belum berjamaah.
Apa yang bisa
saya ambil hikmah dari semua ini? Ternyata karakter tidak cukup hanya
ada di kurikulum dan di buku. Penanaman karakter perlu kerja keras dan
kerja ikhlas. Perlu keteladanan di setiap lini, baik rumah tangga,
sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Kalau karakter cuma ada di buku,
maka yang akan kau dapatkan hanyalah perubahan semu.