Suatu siang di pusat
Kota Amuntai. Sepulang dari kerja, saya singgah di pinggir jalan di seberang
Taman Putri Junjung Buih tempat pedagang buah menggelar dagangannya. Saat saya
sedang asyik memilih buah Pampakin*, seorang kakek mendekat sambil menuntun sepeda
butut. Di keranjang depan sepedanya terdapat beberapa buah bakul* bamban dan
diboncengannya terdapat setumpuk kipas rotan yang jumlahnya mungkin hanya
puluhan. Mungkin kakek ini seorang pedagang bakul dan kipas keliling.
Agak lama juga si
kakek memandangi saya dan beberapa orang pembeli memilih buah yang akan dibeli.
Sampai akhirnya beliau bertanya,
“Barapa sabigi
pampakin?” (Berapa harga sebuah pampakin?).
Saya yang kebetulan
berada dekat dengan beliau menjawab,
“Sepuluh ribu Kai ai”
(Sepuluh ribu kek).
“Umai lih..” ujar si
kakek agak bergumam. (Saya tidak bisa menerjemahkan ucapan kakek ini ke dalam
bahasa Indonesia. Ungkapan ini kurang lebih bermakna keluhan untuk konteks ini)
Kutatap wajah si
Kakek. Seperti ada keraguan dan kebingungan terpancar dari raut wajahnya.
Naluri saya reflek menerka-nerka apa yang dipikirkan si kakek. Mungkin beliau
menganggap harganya terlalu mahal, atau uang yang dimiliki tidak cukup untuk
membeli pampakin tersebut. Atau mungkin juga uangnya cukup, tapi masih ada
keperluan yang lebih mendesak. Wallahu a’lam.
Sambil terus
memandangi pampakin yang ada, akhirnya saya selesai membayar beberapa buah
pampakin yang saya beli. Kemudian saya memberikan sebuah pampakin kepada Kakek
tadi.
“Ini gasan Pian Kai ai”
(Ini untuk Kakek..)
“Berapa haraganya?”
(Berapa harganya?) ujar si Kakek.
“Kada usah dibayari
gin. Ulun mambari Pian” (Tidak usah di bayar, ini untuk Kakek)
“Umaa, bauntung
batuahnya ikam Nak. Tarima kasih Nak lah” ujar beliau sambil menerima pampakin tersebut.
Saat itu saya merinding mendengar ucapan beliau. Tapi yang membuat saya semakin
merinding adalah kejadian berikutnya.
“Tolong buka akan Nak
lah, aku handak banar sudah mamakan” (Tolong bukakan ya Nak, saya sudah ingin
sekali) ujar si kakek. Benar saja setelah saya belah pampakin tersebut dengan
pisau penjual, saat itu juga beliau memakan isi pampakin yang terbelah dengan
lahapnya dan sisanya beliau masukkan ke dalam bakul yang ada di keranjang
sepeda.
Ketika saya ingin
beranjak pergi, kembali si kakek mengucapkan terimakasih dan mengulurkan tangan
beliau untuk bersalaman. Saat diperjalanan saya baru terpikir, kenapa hanya
satu buah yang saya berikan. Siapa tau beliau memiliki istri, anak, atau
mungkin cucu yang sedang menunggu beliau membawakan sesuatu sepulang dari
berjualan. Ah, rasanya saya ingin menangis.
Semoga dengan
pengalaman ini saya bisa lebih bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepada saya selama ini. Betapa nilai sepuluh ribu yang
kadang begitu tidak dianggap oleh kita, bisa memiliki arti yang sangat besar
bagi orang lain.
Satu pelajaran berharga
yang saya peroleh dari si kakek adalah, beliau memiliki harga diri untuk tidak
meminta-meminta, meskipun keinginannya untuk makan buah pampakin begitu besar.
Dan beliau lebih memilih bekerja di usia yang seharusnya beristirahat daripada
menjadi beban bagi orang lain.
*pampakin: sejenis
buah durian yang warna kulit dan isinya berwarna kuning tua atau orange.
*bakul bamban : wadah
yang terbuat dari tumbuhan bamban yang digunakan untuk mencuci beras oleh orang
banjar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar