Dahulu
profesi guru bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan secara ekonomi. Gaji yang
diterima setiap bulan terkadang tidak cukup untuk kebutuhan sebulan. Saya
mengenal beberapa orang guru saya dahulu yang memiliki dedikasi tinggi terhadap
tugasnya sebagai seorang pendidik. Mereka mengedapankan keikhlasan dalam
menjalankan tugasnya. Fokus pada tugas, sehingga mengajar dan mendidik
benar-benar dijadikan langkah hidupnya. Tapi semangat pengabdian mereka tidak sebanding
dengan gaji yang mereka terima. Kehidupan mereka sangat bersahaja bahkan bisa
dibilang kekurangan. Sampai saya SMA pun saya masih mendapati kondisi guru yang
masih memprihatinkan secara ekonomi. Disaat sebagian siswa sudah menggunakan
sepeda motor, mereka masih mengayuh sepeda butut untuk sampai di sekolah.
Padahal mereka adalah guru-guru terbaik. Karena mereka hanya fokus pada tugas
keguruannya sehingga tidak sempat mencari penghasilan tambahan di bidang lain.
Berbeda dengan beberapa guru yang kondisi ekonominya cukup mapan. Karena
sebagian mereka memiliki usaha sampingan untuk mendongkrak penghasilan. Bahkan
yang lebih parah ada yang menjadikan profesi guru sebagai usaha sampingan
karena terlalu sibuk dengan dengan usaha di bidang lain.
Sejak
pemerintah menggulirkan program sertifikasi guru, kehidupan guru perlahan-lahan
mulai berubah. Secara ekonomi kehidupan mereka mulai membaik. Guru sudah bisa
lebih fokus pada tugasnya mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi
serta menindaklanjuti pembelajaran yang dilakukan. Sebagin dari uang
sertifikasi digunakan untuk meningkatkan kualitas kompetensi, misalnya dengan
meningkatkan kualifikasi akademik hingga sampai jenjang S1, S2 bahkan S3. Hal
ini tentunya akan berimbas pada peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah
yang akan bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Tapi,
sudah menjadi hukum alam, ‘kalau kita menanam padi maka rumput pasti akan
tumbuh.’ Alih-alih meningkatkan kualitas kompetensi, karena sibuk mempersiapkan
persyaratan sertifikasi sebagian guru ada yang tega mengorbankan siswa dan jam
mengajar. Kuliah yang dilakukan bukan lagi untuk mencari ilmu tapi untuk
mendapatkan ijazah sarjana yang merupakan persyaratan sertifikasi.
Tak
bisa dipungkiri, seiring makin mapannya kondisi ekonomi guru ternyata juga
berimbas pada perubahan pola dan gaya hidup. Dahulu guru memiliki rumah dan
perabot sederhana. Untuk berangkat ke sekolah paling lumayan guru menggunakan
sepeda motor. Itu pun didapat melalui pinjaman bank atau kredit. Sekarang
kondisinya sudah jauh berubah. Guru sudah bisa menikmati rumah yang layak huni dengan
perabot lengkap. Sebagian dari mereka juga sudah bisa memiliki mobil sendiri.
Sehinggga untuk acara yang dihadiri oleh guru, panitia terpaksa harus menyediakan
parkir yang luas. Kalau dahulu untuk mengisi waktu liburan guru hanya bisa
berekreasi ke tempat wisata yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tapi
sekarang mereka sudah bisa berlibur ke luar pulau bahkan ke luar negeri. Bahkan
ada yang setiap tahun.
Kondisi
ini tentunya tak lepas dari sorotan berbagai pihak. Apakah program sertifikasi
sudah benar-benar berfungsi sesuai harapan yakni untuk mengubah mindset guru
dalam melaksanakan tugasnya ke arah yang lebih baik dan bermutu? Atau bahkan
hanya mengubah pola dan gaya hidup guru menjadi konsumtif dan hedonis? Ada
kalangan yang menganggap bahwa program sertifikasi guru tidak sesuai dengan
harapan sehingga muncul wacana untuk menghentikan sertifikasi guru (Kompas.com)
(http://megapolitan.kompas.com/read/2014/08/13/20363611/Ahok.Tiap.Hari.Kerjaan.Guru.Hanya.Fotokopi.Sertifikat.)
Tentu
anggapan ini tak sepenuhnya benar, tapi juga tidak seratus persen salah. Wajar
saja ada pihak yang menyangsikan manfaat dari sertifikasi guru. Karena kondisi
di atas memang terjadi dalam proses program sertifikasi ini. Tapi kita juga
tidak menutup mata bahwa program sertifikasi ini sangat berpengaruh dalam
peningkatan kualitas kompetensi guru. Guru-guru yang mendedikasikan dirinya
secara total untuk tugas mulia ini tidak lagi terpecah konsentrasinya pada
peningkatan kualitas ekonominya. Sehingga mereka lebih produktif, kreatif, dan
inovatif dalam melaksanakan tugas.
Lantas
sebagai guru, apakah kita akan marah dengan anggapan pihak-pihak yang menyatakan
sertifikasi guru ini gagal dan menganggap mereka cemburu. Semestinya hal itu
dijadikan bahan evaluasi dan instropeksi. Buktikan bahwa kita professional dan
layak untuk mendapat tunjangan profesi guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar