Jumat, 19 Juni 2015

Sertifikasi Guru Dicemburui? Wajar Saja.

Dahulu profesi guru bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan secara ekonomi. Gaji yang diterima setiap bulan terkadang tidak cukup untuk kebutuhan sebulan. Saya mengenal beberapa orang guru saya dahulu yang memiliki dedikasi tinggi terhadap tugasnya sebagai seorang pendidik. Mereka mengedapankan keikhlasan dalam menjalankan tugasnya. Fokus pada tugas, sehingga mengajar dan mendidik benar-benar dijadikan langkah hidupnya. Tapi semangat pengabdian mereka tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Kehidupan mereka sangat bersahaja bahkan bisa dibilang kekurangan. Sampai saya SMA pun saya masih mendapati kondisi guru yang masih memprihatinkan secara ekonomi. Disaat sebagian siswa sudah menggunakan sepeda motor, mereka masih mengayuh sepeda butut untuk sampai di sekolah. Padahal mereka adalah guru-guru terbaik. Karena mereka hanya fokus pada tugas keguruannya sehingga tidak sempat mencari penghasilan tambahan di bidang lain. Berbeda dengan beberapa guru yang kondisi ekonominya cukup mapan. Karena sebagian mereka memiliki usaha sampingan untuk mendongkrak penghasilan. Bahkan yang lebih parah ada yang menjadikan profesi guru sebagai usaha sampingan karena terlalu sibuk dengan dengan usaha di bidang lain.
Sejak pemerintah menggulirkan program sertifikasi guru, kehidupan guru perlahan-lahan mulai berubah. Secara ekonomi kehidupan mereka mulai membaik. Guru sudah bisa lebih fokus pada tugasnya mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi serta menindaklanjuti pembelajaran yang dilakukan. Sebagin dari uang sertifikasi digunakan untuk meningkatkan kualitas kompetensi, misalnya dengan meningkatkan kualifikasi akademik hingga sampai jenjang S1, S2 bahkan S3. Hal ini tentunya akan berimbas pada peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah yang akan bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Tapi, sudah menjadi hukum alam, ‘kalau kita menanam padi maka rumput pasti akan tumbuh.’ Alih-alih meningkatkan kualitas kompetensi, karena sibuk mempersiapkan persyaratan sertifikasi sebagian guru ada yang tega mengorbankan siswa dan jam mengajar. Kuliah yang dilakukan bukan lagi untuk mencari ilmu tapi untuk mendapatkan ijazah sarjana yang merupakan persyaratan sertifikasi.
Tak bisa dipungkiri, seiring makin mapannya kondisi ekonomi guru ternyata juga berimbas pada perubahan pola dan gaya hidup. Dahulu guru memiliki rumah dan perabot sederhana. Untuk berangkat ke sekolah paling lumayan guru menggunakan sepeda motor. Itu pun didapat melalui pinjaman bank atau kredit. Sekarang kondisinya sudah jauh berubah. Guru sudah bisa menikmati rumah yang layak huni dengan perabot lengkap. Sebagian dari mereka juga sudah bisa memiliki mobil sendiri. Sehinggga untuk acara yang dihadiri oleh guru, panitia terpaksa harus menyediakan parkir yang luas. Kalau dahulu untuk mengisi waktu liburan guru hanya bisa berekreasi ke tempat wisata yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tapi sekarang mereka sudah bisa berlibur ke luar pulau bahkan ke luar negeri. Bahkan ada yang setiap tahun.
Kondisi ini tentunya tak lepas dari sorotan berbagai pihak. Apakah program sertifikasi sudah benar-benar berfungsi sesuai harapan yakni untuk mengubah mindset guru dalam melaksanakan tugasnya ke arah yang lebih baik dan bermutu? Atau bahkan hanya mengubah pola dan gaya hidup guru menjadi konsumtif dan hedonis? Ada kalangan yang menganggap bahwa program sertifikasi guru tidak sesuai dengan harapan sehingga muncul wacana untuk menghentikan sertifikasi guru (Kompas.com) (http://megapolitan.kompas.com/read/2014/08/13/20363611/Ahok.Tiap.Hari.Kerjaan.Guru.Hanya.Fotokopi.Sertifikat.)
Tentu anggapan ini tak sepenuhnya benar, tapi juga tidak seratus persen salah. Wajar saja ada pihak yang menyangsikan manfaat dari sertifikasi guru. Karena kondisi di atas memang terjadi dalam proses program sertifikasi ini. Tapi kita juga tidak menutup mata bahwa program sertifikasi ini sangat berpengaruh dalam peningkatan kualitas kompetensi guru. Guru-guru yang mendedikasikan dirinya secara total untuk tugas mulia ini tidak lagi terpecah konsentrasinya pada peningkatan kualitas ekonominya. Sehingga mereka lebih produktif, kreatif, dan inovatif dalam melaksanakan tugas.
Lantas sebagai guru, apakah kita akan marah dengan anggapan pihak-pihak yang menyatakan sertifikasi guru ini gagal dan menganggap mereka cemburu. Semestinya hal itu dijadikan bahan evaluasi dan instropeksi. Buktikan bahwa kita professional dan layak untuk mendapat tunjangan profesi guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar