Suatu hari seorang ayah sedang mencuci mobil di halaman rumah. Salah satu anaknya yang baru pulang dari les lewat di dekat sang ayah. Tanpa sengaja si anak menendang ember yang digunakan untuk mencuci mobil tersebut yang letaknya memang agak menghalangi jalan masuk. Kontan saja si ayah marah kepada si anak. “Kalo jalan lihat-lihat dong! Dimana sih meletakkan mata. Bla..bla.. bla..” Keluarlah berbagai macam ungkapan kekesalan kepada anak sehingga hari itu menjadi hari yang tidak menyenangkan bagi anak dan ayah.
Di hari yang lain giliran si anak yang tengah sibuk mencuci sepeda kesayangannya di halaman rumah. Selang beberapa saat lewatlah sang ayah yang baru pulang dari tempat kerja. Tanpa sengaja pula si ayah menendang ember yang digunakan si anak untuk mencuci sepeda. Belum sempat si anak bersuara, si ayah sudah lebih dahulu nyerocos menghardik si anak. “Kamu ini gimana sih, kalau meletakkan ember jangan di tengah jalan. Sudah tahu jalan masuk, eh embernya malah ditaruh di tengah. Dasar tidak becus”
Menyalahkan orang lain dan lingkungan. Itulah yang paling gampang dilakukan kalau kita mendapat masalah. Benar saja apa yang dikatakan Stephen R. Covey bahwa yang menjadi masalah bukanlah masalah yang kita hadapi, tapi cara kita bereaksi terhadap masalah itu sendiri yang menjadi masalah sebenarnya.
Inilah yang sering dilakukan oleh orang-orang pengeluh. Mereka akan selalu menyalahkan keadaan, kondisi, nasib, lingkungan, dan segala sesuatu yang berada di luar diri mereka. Padahal setiap orang memiliki pilihan dalam hidup. Setiap orang bisa memilih reaksi positif dalam menghadapi masalah. Bisa juga memilih reaksi negatif. Seperti kasus di atas, reaksi yang ditunjukkan oleh si ayah pada kedua peristiwa tersebut adalah reaksi negatif. Padahal dia dapat memilih untuk bereaksi secara positif terhadap peristiwa tersebut. Pada peristiwa pertama si ayah tidak perlu marah kepada anak. Sebab bisa jadi hal tersebut disebabkan karena dia meletakkan ember menutupi jalan masuk. Demikian pula halnya pada peristiwa kedua. Si ayah juga dapat bereaksi positif dengan melihat bahwa kesalahan bukan semata-mata dilakukan oleh anak. Bisa saja disebabkan karena si ayah berjalan kurang hati-hati sehingga tidak melihat kalau ada ember di tengah jalan.
Contoh kasus lain, sebuah perusahaan yang mempekerjakan sejumlah karyawan memiliki seorang pimpinan yang cerdas, mampu melihat dan memanfaatkan setiap peluang yang dapat menguntungkan perusahaan. Akan tetapi pimpinan tersebut juga memiliki sifat yang kurang disukai oleh bawahannya. Dia dikenal sebagai seorang yang arogan, otoriter, dan suka bersikap keras terhadap semua karyawannya. Setiap suruhan yang dilakukan bernada perintah yang harus dilakukan tanpa bisa dibantah. Hampir semua karyawan mengeluh dan merasa tertekan. Di saat pimpinan tidak berada di antara para karyawan, yang terjadi adalah mereka menurunkan produktifitas kerja mereka dengan alasan sikap pimpinan yang memuakkan. Sehingga bekerja bagi sebagian karyawan adalah keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Di antara sekian banyak karyawan tersebut ada satu karyawan yang memilih untuk bersikap positif dalam menghadapi sikap pimpinan tadi. Dia semakin meningkatkan kualitas kerjanya. Setiap instruksi yang diberikan pimpinan akan disikapi dengan kerja yang bagus bahkan melebihi apa yang diinginkan pimpinan. Dia juga mengetahui apa-apa yang diinginkan oleh pimpinan yang dituangkan dalam bentuk ide dan hasil kerja yang luar biasa. Akibatnya yang ia dapatkan bukan lagi perintah. Setiap kali pimpinan tersebut akan mengambil keputusan, dia selalu meminta pendapat kepada karyawan yang satu ini. Instruksi yang diterimapun sudah berbeda dengan karyawan lain. Kalau karyawan lain mendapat perintah, “Kerjakan ini!” atau “Kerjakan itu!” Tapi karyawan yang satu ini mendapat pertanyaan, “Menurutmu hal ini bagaimana?” Dan tentu saja reward yang diperoleh pun juga berbeda dengan karyawan kebanyakan.
Kebiasaan bereaksi positif tidak datang begitu saja pada diri setiap orang. Perlu latihan dan kerja keras untuk menjadikannya karakter dalam diri. Dimulai dari berpikir positif, yang diwujudkan menjadi sebuah tindakan yang positif pula. Kalau tindakan-tindakan yang dilandasi oleh pikiran positif tersebut dilakukan berulang-ulang, maka akan menjadi sebuah kebiasaan yang pada gilirannya akan membentuk sebuah karakter yang melekat pada pribadi kita. Karakter inilah yang akan menentukan efektif tidaknya kehidupan yang kita jalani.
Jadi mulailah segala sesuatu dari pikiran yang positif.
Selalu semangat!
Jumat, 21 Desember 2012
Setiap Kita Punya Pilihan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar