Gambar Ilustrasi |
Kisah ini terjadi puluhan tahun yang lalu, ketika saya masih menjadi guru muda, (meskipun usia sekarang sudah tidak termasuk muda, tapi semangat harus tetap muda dan tidak kendur oleh usia). Ketika saya menjadi wali kelas lima, saya memiliki seorang siswa sebut saja namanya Ahmad (bukan nama sebenarnya). Anak ini memiliki perbedaan dengan teman-teman sekelasnya. Untuk mencapai kelas 5 dia memerlukan waktu 8 tahun, karena setiap kelas harus dilewatinya selama 2 tahun. Satu-satunya sebab yang membuat anak ini tinggal kelas adalah karena dia tidak bisa membaca. Bahkan ketika berada di kelas 5 pun dia baru bisa mengenal huruf. Padahal untuk urusan berhitung, anak ini tergolong pandai dibandingkan kebanyakan teman sekelas. Tapi ketika dihadapkan pada soal cerita yang membutuhkan kemampuan membaca untuk menyelesaikannya Ahmad akan menyerah. Dan ini pulalah yang menyebabkan nilai mata pelajaran lainnya menjadi rendah.
Bagi saya, kemampuan membaca Ahmad inilah satu-satunya kekurangannya. Sebab untuk hal lain, banyak kelebihan yang dimilikinya. Selain jago dalam berhitung, dia juga memiliki sifat-sifat yang baik. Sangat jarang dia absen ke sekolah kecuali karena sakit atau keperluan yang sangat penting. Anaknya memang agak sedikit pendiam. Tapi hubungan sosialnya sangat bagus, baik dengan teman maupun dengan guru. Tugas-tugas yang diberikan selalu dikerjakan, meskipun untuk soal yang mengharuskan dia membaca, hanya soal yang ditulisnya ulang. Gambaran secara umum di mata saya, anak ini rajin, sopan, pendiam, sedikit pemalu dan tidak bisa membaca. Lahir di keluarga sederhana, tinggal bersama ayah, nenek dan kakak perempuannya. Ibunya meninggal ketika Ahmad masih kecil.
Sebagai seorang guru apalagi wali kelasnya, saya merasa kasihan dan tertantang. Inilah medan saya, dia siswa saya. Saya tidak ingin anak sebaik ini akan tersandung keberhasilannya hanya karena tidak bisa membaca. Mulailah saya memikirkan cara untuk membantu anak ini. Alhamdullillah, waktu itu saya tinggal di rumah dinas yang ada di komplek sekolah. Biasanya setiap habis Magrib beberapa siswa datang ke rumah dinas untuk belajar mengaji termasuk Ahmad. Waktu inilah yang saya gunakan sebaik-baiknya untuk membimbing Ahmad dalam membaca. Saya meminjaminya buku kelas 1. Setiap mengaji buku itu selalu dibawanya dan sehabis mengaji dilanjutkan dengan belajar membaca. Biasanya dia akan pulang paling lambat. Hanya dengan bermodal lampu teplok (karena pada saat itu listrik belum masuk, tahun 1998) kami lalui hampir setiap malam dengan mengaji dan belajar membaca. Dalam setiap kesempatan saya terus memotivasi semangatnya, misalnya dengan memuji kemampuan membaca yang diperolehnya.
Selain itu, ketika berada di kelas pun saya berusaha untuk memberi kesempatan kepada Ahmad untuk membaca meski hanya beberapa baris.
Ternyata usaha yang kami lakukan tidak sia-sia, hanya dalam waktu empat bulan, Ahmad sudah mengejar kemampuan membaca teman-temannya. Lega rasanya perasaan saya, akhirnya dia mampu bersaing dengan teman-temannya untuk semua mata pelajaran. Bahkan pada saat kenaikan kelas dia mampu berada di atas beberapa orang temannya dan ketika saya ditugaskan menjadi wali kelas 6 di tahun berikutnya, tak ada lagi kesulitan yang berarti dalam hal membaca bagi semua siswa saya.
Semoga penggalan kisah ini dapat menginspirasi kita semua untuk selalu berusaha memikirkan cara mengatasi setiap permasalahan yang kita hadapi khususnya di dunia pendidikan. Kebahagiaan seorang guru bukanlah ketika murid membalasnya dengan materi. Kebahagiaan seorang guru adalah ketika dia menyaksikan muridnya berhasil hidup sebagai manusia berkat ilmu yang diberikan.
Bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar