Rabu, 25 Januari 2012

MELUPAKAN SISI BAIK


Amin, siswa kelas 3 SD dimarahi sang Ibu ketika menunjukkan nilai matematikanya yang mendapat nilai 6. Ini adalah yang pertama kali Amin mendapat nilai 6. Biasanya nilai Amin tidak pernah kurang dari 8, bahkan lebih sering sempurna (10). Itulah yang menyebabkan si Ibu marah-marah. "Soal segitu saja kok salah. Gimana sih? Pasti kamu nggak memperhatikan waktu guru menjelaskan! Bla...bla...bla... Berbagai vonis akhirnya harus diterima Amin.
Apa yang dilakukan oleh ibu Amin mungkin juga pernah kita lakukan terhadap anak kita yang melakukan kesalahan. Meskipun kesalahan tersebut tidak mereka kehendaki. Reaksi demikian merupakan reaksi standar yang kemungkinan besar dilakukan orang tua terhadap anak.
Coba kita  menempatkan diri pada posisi anak. Apa yang akan kita rasakan ketika kita dimarahi atas sebuah kesalahan yang tidak kita inginkan. Bahkan kita telah berusaha untuk memberikan yang terbaik.
Faktanya kita lebih cenderung melihat sisi kurang pada anak kita. Satu contoh, ketika anak kita mencoba membantu mengepel lantai. Ternyata air yang digunakan anak adalah air yang kotor. Sehingga lantai yang seharusnya bersih malah menjadi kotor. Apa reaksi kita? Jujur saja, yang paling enak adalah memarahi anak. Padahal ada hal yang jauh lebih berharga dari anak yang telah kita abaikan. Yaitu keinginan anak untuk belajar membantu.
Sama seperti kasus Amin di atas. Si ibu ternyata lebih fokus pada kekurangan anak yaitu salah empat dari 10 soal. Ibu melupakan bahwa soal yang dikerjakan benar ternyata lebih besar dari kesalahannya yaitu 6 soal. Artinya kesalahan anak yang sebenarnya kecil dijadikan besar di mata si ibu, sehingga menutupi kebaikan yang dilakukan anak.
Kalau reaksi seperti itu yang selalu kita tunjukkan setiap kali menyikapi tindakan anak, maka tanpa kita sadari anak belajar bahwa untuk mendapatkan perhatian kita, dia harus melakukan kesalahan.
Coba perhatikan kasus berikut. Seorang guru ingin mengajarkan kepada siswanya untuk selalu mencantumkan hari dan tanggal setiap kali mengerjakan tugas tertulis. Dalam pelaksanaannya, ada anak yang selalu lupa menuliskan hari dan tanggal di buku tulisnya. Yang paling enak, si anak ini kita marahi, dicaci maki sebagai 'anak pelupa' di hadapan teman-temannya. Hati-hati! Anda telah menebar bibit kebencian di hati anak.
Tapi apa yang dilakukan guru tadi? Si Guru mengangkat tinggi-tinggi buku anak yang tidak mencantumkan tanggal tadi sambil berkata, "Ada yang tahu siapa pemilik buku ini?" Beberapa anak menyebut nama pemilik buku. "Betul sekali. Ada hal bagus yang dapat kalian contoh dari pemilik buku ini. Yang pertama adalah kerapian tulisan dan yang kedua, dia menulis tugas timbal balik tidak melompat dari halaman satu ke halaman tiga" kata Guru sambil menunjukkan tulisan anak.
Sampai disini, coba jawab pertanyaan berikut: 'Apa yang anda rasakan kalau pemilik buku tersebut Anda?' Silahkan anda jawab sendiri.
Ternyata Si Guru tidak berhenti sampai di situ. Dia kemudian mengangkat sebuah buku yang selalu mencantumkan hari dan tanggal di setiap tugas dan memuji pemilik buku ini. Sekarang apa yang anda rasakan sebagai siswa yang tidak mencantukan tanggal. Apakah anda menganggap guru tersebut menghina anda?  Semoga saja tidak. Kemungkinan besarnya adalah anda akan  berusaha selalu ingat untuk menulis hari dan tanggal di buku tugas anda.
Semoga kita menjadi orang yang mampu melihat sisi baik dari setiap kejadian.

3 komentar:

  1. Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Makasih kunjungannya Mas. Masih harus banyak belajar kalo dibandingkan dengan para Master di Blogger Banua.

      Hapus