Amin, siswa kelas 3 SD dimarahi sang Ibu ketika menunjukkan
nilai matematikanya yang mendapat nilai 6. Ini adalah yang pertama kali Amin
mendapat nilai 6. Biasanya nilai Amin tidak pernah kurang dari 8, bahkan lebih
sering sempurna (10). Itulah yang menyebabkan si Ibu marah-marah. "Soal
segitu saja kok salah. Gimana sih? Pasti kamu nggak memperhatikan waktu guru
menjelaskan! Bla...bla...bla... Berbagai vonis akhirnya harus diterima Amin.
Apa yang dilakukan oleh ibu Amin mungkin juga pernah kita
lakukan terhadap anak kita yang melakukan kesalahan. Meskipun kesalahan
tersebut tidak mereka kehendaki. Reaksi demikian merupakan reaksi standar yang
kemungkinan besar dilakukan orang tua terhadap anak.
Coba kita menempatkan
diri pada posisi anak. Apa yang akan kita rasakan ketika kita dimarahi atas
sebuah kesalahan yang tidak kita inginkan. Bahkan kita telah berusaha untuk
memberikan yang terbaik.
Faktanya kita lebih cenderung melihat sisi kurang pada anak
kita. Satu contoh, ketika anak kita mencoba membantu mengepel lantai. Ternyata
air yang digunakan anak adalah air yang kotor. Sehingga lantai yang seharusnya
bersih malah menjadi kotor. Apa reaksi kita? Jujur saja, yang paling enak
adalah memarahi anak. Padahal ada hal yang jauh lebih berharga dari anak yang
telah kita abaikan. Yaitu keinginan anak untuk belajar membantu.
Sama seperti kasus Amin di atas. Si ibu ternyata lebih fokus
pada kekurangan anak yaitu salah empat dari 10 soal. Ibu melupakan bahwa soal
yang dikerjakan benar ternyata lebih besar dari kesalahannya yaitu 6 soal.
Artinya kesalahan anak yang sebenarnya kecil dijadikan besar di mata si ibu,
sehingga menutupi kebaikan yang dilakukan anak.
Kalau reaksi seperti itu yang selalu kita tunjukkan setiap
kali menyikapi tindakan anak, maka tanpa kita sadari anak belajar bahwa untuk
mendapatkan perhatian kita, dia harus melakukan kesalahan.
Coba perhatikan kasus berikut. Seorang guru ingin
mengajarkan kepada siswanya untuk selalu mencantumkan hari dan tanggal setiap
kali mengerjakan tugas tertulis. Dalam pelaksanaannya, ada anak yang selalu
lupa menuliskan hari dan tanggal di buku tulisnya. Yang paling enak, si anak
ini kita marahi, dicaci maki sebagai 'anak pelupa' di hadapan teman-temannya.
Hati-hati! Anda telah menebar bibit kebencian di hati anak.
Tapi apa yang dilakukan guru tadi? Si Guru mengangkat
tinggi-tinggi buku anak yang tidak mencantumkan tanggal tadi sambil berkata,
"Ada yang tahu siapa pemilik buku ini?" Beberapa anak menyebut nama
pemilik buku. "Betul sekali. Ada hal bagus yang dapat kalian contoh dari
pemilik buku ini. Yang pertama adalah kerapian tulisan dan yang kedua, dia
menulis tugas timbal balik tidak melompat dari halaman satu ke halaman
tiga" kata Guru sambil menunjukkan tulisan anak.
Sampai disini, coba jawab pertanyaan berikut: 'Apa yang anda
rasakan kalau pemilik buku tersebut Anda?' Silahkan anda jawab sendiri.
Ternyata Si Guru tidak berhenti sampai di situ. Dia kemudian
mengangkat sebuah buku yang selalu mencantumkan hari dan tanggal di setiap
tugas dan memuji pemilik buku ini. Sekarang apa yang anda rasakan sebagai siswa
yang tidak mencantukan tanggal. Apakah anda menganggap guru tersebut menghina
anda? Semoga saja tidak. Kemungkinan
besarnya adalah anda akan berusaha
selalu ingat untuk menulis hari dan tanggal di buku tugas anda.
Semoga kita menjadi orang yang mampu melihat sisi baik dari
setiap kejadian.
mantap blognya pak
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMakasih kunjungannya Mas. Masih harus banyak belajar kalo dibandingkan dengan para Master di Blogger Banua.
Hapus